Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kehormatan untuk diundang oleh Metro TV sebagai panelis dan komentator dalam acara debat cawapres. Sebagai seseorang yang telah mempelajari dan mendalami tema-tema seperti UMKM, ekonomi, pajak, infrastruktur, dan urbanisasi, saya menyimak debat ini dengan seksama.
Selama debat, saya terus bertanya-tanya mengenai materi yang akan saya bawakan andai saya berdiri di panggung tersebut. Ada sebuah simbolisme yang menarik bagi saya selaku ekonom yang terjun menjadi konten kreator: sarung yang saya kenakan merupakan simbol kesetaraan dan keadilan di Indonesia.
Debat yang berlangsung mengusung tema pertumbuhan ekonomi dan berbagai isu terkait yang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Penjabaran Pram tentang benchmarking dan best practices, menegaskan betapa pentingnya pelaksanaan yang efektif dan efisien dalam setiap program.
Dalam debat ini, kita melihat bagaimana Pak Anies Baswedan unggul dalam hal materi, artikulasi, dan komunikasi. Sementara Pak Probo Subianto dan Pak Ganjar Pranowo bersaing ketat dalam mengartikulasikan pandangan mereka. Saat yang mengejutkan tiba ketika diketahui bahwa figur seperti Gibran yang kerap diremehkan, tampil dengan solid dan melebihi ekspektasi publik. Dengan kejelasan visi dan pemahaman terkait pertumbuhan ekonomi, pajak, dan bonus demografi, debat tersebut menjadi panggung yang menarik bagi banyak orang, termasuk saya.
Dalam refleksi saya mengenai debat tersebut, saya ingin memberikan sudut pandang mengenai cara Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6-7%. Hal ini penting untuk menggapai visi Indonesia Emas 2045, di mana potensi pemuda yang produktif dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar.
Potensial growth menjadi isu krusial yang jarang dibicarakan. Riset dari World Bank mengindikasikan era pandemi COVID-19 telah menurunkan kecerdasan generasi muda, sebuah hal yang menghambat potensi pertumbuhan ekonomi kita.
Diskusi mengenai cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus berfokus pada cara meningkatkan produktivitas, bukan investasi semata. Itu artinya, harus ada upaya diversifikasi produk ekspor dan mendukung industrialisasi yang didukung oleh inovasi dan riset dan pengembangan.
UMKM turut menjadi sorotan dalam debat tersebut. Masalah di sektor UMKM bukan hanya pada jumlah, tetapi juga skalabilitas dan ketahanan usaha. Untuk bertumbuh, UMKM harus mampu naik kelas, menjadi entitas usaha yang lebih besar dan kuat.
Akhirnya, pembahasan pajak menjadi topik yang penting. Fokus saya bukan pada peningkatan tarif pajak, tetapi perluasannya. Kita harus mampu menaikkan rasio pajak kita yang masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Dari semua yang terungkap dan dibahas, saya berharap konten ini bermanfaat bagi Anda. Saya siap untuk membawakan lagi wawasan dan refleksi pada kesempatan debat berikutnya.
Demikian refleksi saya sebagai seorang panelis dalam debat cawapres yang lalu. Mari kita nantikan diskusi selanjutnya dan bersama-sama mencermati langkah kita menuju Indonesia yang lebih maju.
Sampai jumpa di konten-konten mendatang!